DI BALIK BAJU TOGA

Langit jingga menghiasi kampus Universitas Negeri Semarang yang sedang ramai menghelat acara wisuda. Semua mahasiswa berhamburan keluar dari auditorium Universitas Negeri Semarang. Di sayap kanan auditorium, terlihat sekelompok wisudawan yang sedang duduk melingkar. Mereka adalah wisudawan-wisudawan terbaik Prodi Pendidikan Bahasa Arab. Ridlo adalah wisudawan terbaik Fakultas Bahasa dan Seni sekaligus aktivis kampus. Dia bersama teman-teman seperjuangannya, Nurul, Aesyi, Ulfa, Faizun, Zaen, dll sedang membahas rencana ke depan setelah lulus dari UNNES. Mereka juga bernostalgia, mengenang masa-masa saat mereka masih bersama menempuh studi di Prodi Pendidikan Bahasa Arab. Memori mereka berjalan mundur membayangkan bagaimana mereka dulu dipertemukan di prodi PBA, bagaimana mereka menjalani hari-hari bersama, dan bagaimana mereka dengan latar belakang daerah, adat, bahasa, dan sekolah yang berbeda mampu menyamakan tujuan, berjalan beriringan, saling berbagi, dan melangkah maju meraih mimpi.

Empat tahun yang lalu. Gedung B4 yang menjulang tinggi menjadi saksi bisu, tempat para mahasiswa belajar bahasa asing. Saat mentari mulai meninggi, Ridlo beranjak dari kos menuju kampus konservasi. Setibanya di kampus, pandangan matanya tertuju pada pamflet yang terpajang di mading HIMA BSA. Pamflet open recruitmen fungsionaris HIMA BSA tak jemu dipandangnya. Dalam benaknya, ia membayangkan jika nanti ia akan menjadi bagian dari fungsionaris HIMA. Lamunannya pun seketika buyar saat  Nurul menyapa dan mengajaknya masuk kelas. Sebelum masuk kelas, Ridlo memotret pamflet tersebut. Ketika Nurul dan Ridlo akan mengayunkan kaki menuju lantai dua, datang segerombolan mahasiswa modis yang masih asyik ngobrol sambil makan jajan. Nurul yang masih polos langsung merasa tertarik dengan gaya berpakaian mahasiswa modis tersebut. Tak henti-hentinya Nurul mengamati pakaian mereka dari ujung rambut sampai ujung kaki. Ridlo pun meninggalkan gadis-gadis ini dan langsung menuju lantai dua. Sementara Nurul masih asyik mewawancarai gadis-gadis modis tersebut.

Satu semester telah berlalu, di semester satu semua mahasiswa fokus untuk belajar, khususnya tentang keterampilan berbahasa. Sedangkan di semester dua ini beberapa mahasiswa mulai aktif mengikuti organisasi kampus. Ridlo adalah salah satu mahasiswa yang aktif di organisasi kampus, yakni HIMA BSA. Di semester satu, Ridlo termasuk mahasiswa dengan nilai akademik yang luar biasa, cumlaude. Setelah dia memutuskan untuk ikut HIMA, dia mulai dihadapkan pada sebuah permasalahan. Dia lebih banyak menghabiskan waktunya bersama anak-anak HIMA daripada berdiskusi di bawah pohon mangga sebagaimana saat masih semester satu. Rapat HIMA menjadi rutinitas yang hampir tak pernah ia lewatkan, meski terkadang rapatnya sampai pukul 01.00 dini hari. Dan hal ini pun berimbas pada nilai akademiknya yang semakin hari, semakin menurun.

Berbeda dengan Ridho, ada seorang mahasiswi yang aktif kuliah dan tidak pernah menghabiskan waktuya selain untuk membaca, mengerjakan tugas, dan berdiskusi, dia adalah Aesyi. Sejak semester satu sampai sekarang, dia masih fokus untuk belajar. Karena menurutnya, belajar adalah sebuah kewajiban yang tidak boleh dilalaikan dan tidak boleh diduakan. Dia selalu mengingat nasehat orang tuanya untuk rajin belajar agar bisa menjadi orang yang bermanfaat untuk orang lain. Bersama teman-teman satu angkatannya, Aesyi selalu menghabiskan akhir pekan untuk belajar dan berdiskusi di bawah pohon mangga.

Nurul, sahabat dekat Ridlo, kini lebih banyak menghabiskan waktunya untuk jalan-jalan dan shopping bersama geng modis PBA. Dia juga jarang ikut kumpul bersama teman-temannya untuk belajar kelompok. Beberapa tugas kuliahnya sering kali dia lalaikan, dan saat deadline sudah di depan mata, dia baru sibuk mencari contekan.

Waktu pun terus berjalan. Kedinamisan hidup tak pernah dapat ditolak oleh siapapun. Hari ini adalah hari pertama Ujian Akhir Semester, para mahasiswa sibuk mempersiapkan diri untuk menghadapi UTS. Saat di kelas, Aesyi tampak tenang dan seakan sudah siap untuk menjawab soal-soal UTS. Beberapa teman-temannya yang lain ada yang tampak gelisah, ada pula yang sibuk bersenda gurau dengan temannya. Beberapa menit kemudian, dosen penguji masuk ruangan dan UTS pun dimulai.

Yudisium adalah waktu yang ditunggu-tunggu dan menjadi saat-saat yang mendebarkan bagi mayoritas mahasiswa. Ada yang tidak sabar melihat nilai mereka muncul, dan optimis bahwa mereka mampu mengambil 24 SKS semester depan. Ada yang tak acuh dengan yudisium, mereka merasa bahwa nilai hanyalah sebatas coretan di atas kertas dan masih abstrak. Kelompok kedua ini lebih memfokuskan diri pada aksi nyata ketimbang berkutat dengan konsep dan teori-teori yang penuh dengan perdebatan. Sedangkan dalam pandangan umum, yudisium menjadi salah satu tolok ukur berhasil atau tidaknya proses pembelajaran. Aesyi, mahasiswi yang sangat cerdas ini mempersembahnya nilai yang cumlaude untuk orang tua, teman, dan dosen. Ridho mendapat nilai yang standar-standar saja, malah bisa dikatakan nilainya menurun drastis meski masih dalam zona aman. Nurul dan geng modisnya tampak sedih dan memperlihatkan wajah-wajah yang penuh penyesalan.

Akhir pekan sebelum liburan semester, Ridlo mengumpulkan teman-teman satu angkatannya di bawah pohon manga. Pertemuan kali ini mengkritisi perjalan mereka selama dua semester. Mereka mengapresiasi Aesyi yang memperoleh nilai IPK 3,97, sebuah pencapaian yang mendekati sempurna. Ridho pun akhirnya tersadar bahwa langkah yang dia pilih selama ini kurang tepat dan dia bertekad untuk memperbaiki diri di semester depan. Begitu halnya dengan Nurul dan geng modisnya, mereka merasakan penyesalan yang teramat dalam atas sikap mereka selama ini yang melalaikan tugas utama mereka, belajar.

Ridho kini mulai menata diri dan memanaje waktu. Dia tidak melalaikan tanggung jawabnya sebagai fungsionaris HIMA dan tetap rajin belajar, karena belajar adalah kewajiban yang utama. Nurul dan geng modisnya juga mulai mengurangi dan sedikit demi sedikit meninggalkan kebiasaan buruk mereka. Hingga akhirnya, beberapa semester mereka lalui dengan pencapaian yang mengesankan.dan mereka pun dapat lulus dengan menyandang predikat yang membanggakan.

Advertisement

TERBANG BERSAMA SAYAP TAKDIR

Malam ini menjadi malam terakhirku. Setelah seharian kuhabiskan waktuku untuk mengemasi buku-buku dan pakaian-pakaianku. Satu tas ransel buku, dua kardus pakaian, dan beberapa makanan ringan dalam plastik telah tertata rapi di sudut kamarku. Aku masih duduk terdiam di ujung tikar. Di atas tikar inilah aku dan dua adik perempuanku tidur bersebelahan. Di depan kami juga tergelar tikar untuk Ibuk dan dua adik perempuanku yang masih balita. Bapak dan dua adik laki-lakiku lebih suka tidur di ruang depan. Ruang depan ini memang multifungsi, kalau pagi kami jadikan ruang tamu dan saat malam tiba ruangan ini menjelma menjadi kamar tidur. Sedangkan nenek yang telah memasuki masa senjanya selalu menghabiskan waktu di kamarnya. Kamar beliau berhadap-hadapan dengan kamar untuk sholat.

Tak terasa butir-butir bening mulai berjatuhan dari sudut mataku. Semakin lama alirannya semakin menderas, hidung pun mulai memerah, dan isak tangis mulai membanjiri hati.

“Bagaimana aku mampu meninggalkan mereka? Sembilan belas tahun ku jalani hari-hariku bersama mereka. Suka duka, canda tawa, kebersamaan, saling berbagi, dan terkadang juga ada bumbu pertengkaran-pertengkara kecil dengan mereka. Sanggupkah aku jauh dari keluarga?”, jeritku dalam hati.

Aku masih menundukkan kepala sambil menghapus air mataku dengan ujung jilbab. Aku berusaha bangkit masuk ke kamar nenek, beliau sudah tidur. Aku duduk di kursi yang berada di samping ranjang beliau. Air mataku tak henti-hentinya menetes, ku pijat lengan dan kaki beliau meski beliau tak memintanya. Karena aku anak pertama, nenek menjadi teman setiaku saat aku masih kecil. Ku habiskan hari-hariku bersama beliau. Kasih sayang beliau begitu besar kepadaku, begitupun kepada enam orang adikku.

Setelah beberapa saat menemani nenek, aku melangkah ke ruang tengah. Ruangan ini cukup luas dan kami sekeluarga biasa berkumpul di ruang ini. Di ruangan ini kami sahur dan berbuka puasa saat bulan Ramadhan. Ruangan ini sangat nyaman untuk belajar sehingga aku dan adik-adik suka belajar di sisi. Di ruangan ini pula kami merebahkan badan di kala malam datang. Keempat orang adikku sudah tertidur pulas. Ibuk masih terjaga sambil meninabobokan anak bungsunya. Rasanya kuingin menjadi balita lagi, yang tidur dalam dekapan hangatnya.

Aku masih berada di balik korden yang menjadi sekat antara kamar nenek dan ruang tengah. Kali ini bukan jilbab yang kualihfungsikan menjadi tissue, korden pun jadi pelampiasan luapan tangis yang tak mampu lagi kubendung. Kupandangi wajah Ibukku, guratan halus di bawah kantung matanya mulai muncul. Kedua tangannya pun sudah mulai memancarkan usia senja. Tapi satu hal yang tak pernah luput dari pandanganku, senyuman. Beliau selalu tersenyum di depan kami, beliau selalu terlihat tegar saat membersamai kami. Tapi aku tahu segalanya, di balik senyum cerahnya ada sedikit luka yang terkadang membuatnya menangis. Mungkin kami terlalu nakal, mungkin kami selalu merepotkan, atau bahkan mungkin perkataan dan perbuatan kami lah yang menyayat hati beliau. Tangisku semakin membanjiri korden saat membayangkan kemungkinan-kemungkinan ini. Lantas bagaimana aku mampu melangkahkan kaki menjauh dari Ibuk.

Pada sepertiga malam terakhir sering kudengar isak tangis Ibuk. Dalam sholat malamnya beliau sujud begitu lama, memanfaatkan waktu mustajab untuk berdo’a. Tak pernah ku dengar beliau menyebutkan daftar keinginan pribadi dalam do’anya. Dalam setiap pintanya, nama anak-anaknya lah yang menduduki urutan teratas daftar do’a beliau. Beliau tak pernah meminta kemewahan dunia. Beliau hanya menginginkan keluarga kami hidup berkecukupan, sederhana, dan selalu dalam lindungan Sang Pencipta. Semoga anak-anaknya menjadi anak yang sholeh sholehah dan berbakti kepada orang tua.

Aku segera menghapus tangisku saat Ibuk menoleh ke arahku. Beliau bangun dan berjalan ke arahku. Mengajakku ke ruang depan untuk menemui Bapak.

“Nak, kamu ngapain berdiri di situ? Ayo kita keluar dan menemui Bapak!”

“iya Buk, nanti Nurul nyusul. Nurul mau ke kamar mandi sebentar.”

“jangan lama-lama ya! Ibuk sama Bapak menunggumu di teras.”

“baik, Buk.”

Aku pun bergegas ke kamar mandi. Aku basuh mukaku yang sudah memerah karena lamanya aku menangis. Lalu aku berwudhu dan mencoba menenangkan diri. Aku tidak mau jika Bapak dan Ibuk melihat bekas-bekas tangis di wajahku. Tapi mataku tak bisa berbohong, kedua mataku sembab dan kantung mata membesar seperti bola bekel yang di rendam dalam minyak tanah.

Setelah sampai di teras, aku pun duduk bersebelahan dengan Bapak dan Ibuk, aku diapit di tengah-tengah mereka. Kami menghabiskan malam perpisahan ini di teras rumah sambil memandangi langit. Bulan bersinar terang dan bintang-bintang pun berkelipan seolah mereka menghiburku dari perih dan pedihnya perpisahan ini.

Kami bertiga tersenyum bersama, memandang langit sambil mengenang masa kecilku. Bapak dan Ibuk bercerita tentangku, betapa menggemaskannya aku saat masih bayi. Mereka selalu bersama menyaksikan pertumbuhan dan perkembanganku hingga sekarang. Senyuman kami semakin lama berubah menjadi tangis, tangis haru dan tangis bahagia. Kebahagiaan itu karena besok pagi aku akan melangkahkan kaki ke luar kota untuk kembali menuntut ilmu. Dan kesedihan yang kami rasakan tak lain karena kami akan terpisah. Terpisah oleh jarak yang cukup jauh dan terpisah dalam waktu yang cukup lama. Percakapan malam kami pun berakhir setelah aku tertidur dalam pangkuan Ibuk.

Fajar mulai terlahir, langit masih gelap, cahaya lampu tampak temaram di sudut-sudut jalan. Sisa-sisa hujan semalam masih meninggalkan bekasnya pada dedauanan dan rerumputan, pagi telah tiba. Ibuk sudah menyiapkan sarapan pagi sejak subuh. Aku pun sudah bersiap-siap sejak subuh, mandi, sholat, lalu sarapan. Pagi ini kami menikmati sarapan berselimut dingin. Jam dinding masih menunjukkan pukul 05.00 WIB.

“makan yang banyak, Nak!”, kata Ibuk sambil menuangkan beberapa centong nasi ke piring kami.

“iya, Buk. Pasti Nurul habiskan lauknya. Karena Nurul bakal rindu masakan Ibuk dan makan bersama seperti ini.”

“tidak usah disuruh juga dia bakal menghabiskan semua lauknya. Anak kita yang satu ini dari dulu nggak pernah bisa menolak masakan ibuknya.”, Bapak ikut meramaikan suasana, beliau berkata demikian dengan senyumannya yang khas.

“Ibuk…”, suara si bungsu disertai tangisan khas balita membuat Ibuk segera bergegas menggendongnya.

Suasana pun bertambah ramai saat satu persatu penghuni rumah terbangun dari tidurnya. Kami menikmati sarapan di ruang tengah, sedangkan nenek masih berada di kamarnya. Selesai makan, aku pun menemui nenek untuk berpamitan.

“hati-hati ya nduk! Kamu belum pernah pergi sejauh ini. Biasanya kalau kamu pergi bermain atau pergi sekolah sampai sore hari belum pulang, mbah selalu menanyakanmu. Jaga diri baik-baik, jaga kesehatan, dan jangan lupa makan yang teratur.”

Mendengar nenek berkata demikian, aku hanya mampu mengecup tangan beliau sambil menitikkan air mata. Aku pasti akan merindukan beliau. Merindukan saat pertama kalinya beliau mengajariku sholat maghrib, merindukan pelukan beliau saat hujan deras di malam hari, merindukan cerita beliau yang selalu menjadi tiket penghantar tidur kami. Dan banyak lagi kenangan indah kami bersama beliau.

Saat jam dinding menunjukkan pukul 06.00 WIB, aku pun berpamitan dengan Ibuk, nenek, dan adik-adik. Aku dan Bapak bergegas berangkat ke Kota Atlas. Di kota inilah aku akan menimba ilmu dan belajar bahasa surga, bahasa Arab. Selama di bus kota, aku menyimak nasihat-nasihat Bapak dengan seksama.

“Nak, kalau kamu sudah sampai di tempat kos dan berpisah dengan Bapak, kamu harus bisa jaga diri baik-baik, belajarlah prihatin, manfaatkanlah waktu sebaik mungkin. Belajar yang rajin, kalau capek istirahat, kalau lapar jangan lupa untuk makan.”

“baik, Pak. Insyaallah Nurul akan mengingat dan menjalankan nasihat Bapak. Nurul mohon do’a restunya semoga niat baik kita dimudahkan jalannya oleh Allah.”

“aamiin. Bapak, Ibuk, dan Mbah hanya mampu mendo’akan kamu dari jauh.”

Tiga jam kemudian kami sudah sampai di Kampus Konservasi. Kampus ini terlihat asri dan sejuk. Pohon-pohon besar tumbuh tegak dan gagah, berjajar rapi seperti pasukan tentara yang menyambut para agen perubahan. Di salah satu gedung yang cukup besar ada ribuan pemuda yang sedang antri dalam barisan panjang. Bisa dipastikan mereka adalah calon mahasiswa baru sama seperti diriku.

“nak, Bapak mau cari minum dulu ya?”

“iya, Pak. Nurul juga mau ikut berbaris bersama mereka.”, jawabku sambil menunjuk ke arah barisan yang mulai mengular.

Aku berdiri cukup lama dalam barisan tersebut, yaitu dari jam delapan sampai jam sebelas siang. Alhamdulillah, namaku dipanggil dan dipersilahkan memasuki gedung. Sungguh luar biasa, gedung tersebut mirip gelanggang olahraga yang dipenuhi para penonton. Dan ternyata itu memang gelanggang olahraga milik Fakultas Ilmu Keolahragaan. Setelah mendapatkan tempat duduk, aku baru tersadar kalau aku terpisah dengan Bapak selama tiga jam. Di gedung itu aku hanya mampu duduk terdiam dengan bola mata yang menggelinding kesana kemari mencari di mana kiranya Bapak berada. Setelah lama mencari, akhirnya kutemukan beliau di antara kerumunan orang tua mahasiswa yang sedang mengantar anaknya. Tak ada percakapan di antara kami. Kami hanya saling melambaikan tangan dan tersenyum.

Setelah prosesi melengkapi berkas-berkas administrasi selesai, aku dan Bapak berjalan keluar gedung. Kami duduk sebentar di bawah rindangnya pepohonan. Beberapa orang ramai berjalan di sepanjang jalan yang membentang di depan gedung tadi. Setelah cukup beristirahat aku dan Bapak melanjutkan perjalanan menuju tempat kost.

Di tempat kost ini kami disambut dengan baik oleh mbak-mbak yang ada di kost. Setelah mengantarkanku dan berbincang sebentar Bapak pun melanjutkan perjalanan pulang ke Kota Ukir. Aku dan mbak Lulu mengantarkan Bapak sampai jalan raya. Kami menemani Bapak sampai beliau mendapatkan angkot.

“Bapak..”, aku melambaikan tangan sambil menahan air mataku sekiranya ia tidak keluar. Aku tak mau menjadi anak cengeng. Bapak membalasnya dengan sebuah senyuman penuh makna.

Hari-hariku selama menjadi mahasiswa baru kujalani dengan bahagia dan penuh semangat. Di kampus aku menemukan teman baru, suasana baru, dan kebiasaan-kebiasaan mahasiswa yang masih asing dalam benakku. Kami belajar bersama, berdiskusi, dan mempresentasikan makalah kelompok. Sungguh hal yang berbeda jauh dari apa yang kami bayangkan. Kuliah itu tak sekedar bersantai-santai, akan tetapi kita akan dihadapkan dengan tantangan-tantangan baru yang belum pernah kita temui di bangku SLTA.

Waktu berjalan dengan cepat. Tak terasa aku sudah semester enam, genap tiga tahun kulalui hari-hariku di kota ini. Suka dan duka datang silih berganti. Meski musim mampu menyurutkan sungai, akan tetapi semangat ini tak pernah surut. Setiap kali memandang foto keluarga yang ku tempel di dinding kamar kost. Aku selalu membulatkan tekadku bahwa saat wisudaku nanti kami akan berfoto bersama seperti sebelumnya. Meski anggota keluarga kami tak lengkap lagi, karena Allah terlalu sayang kepada nenek sehingga beliau terlebih dahulu memenuhi panggilan-Nya dengan damai di surga.

Jalan kehidupan memang tak ada yang rata, terkadang kita menjumpai tanjakan, turunan, dan bahkan tikungan serta kerikil-kerikil masalah. Di semester enam ini Allah berbaik hati mengajakku menyusuri tanjakan yang cukup terjang. Namun sayang, kaki ini tak mampu melangkah dengan baik sehingga aku harus merasakan bagaimana sakitnya saat terjatuh.

Masalah datang bertubi-tubi dalam satu waktu. Seperti hujan yang turun deras, menghanyutkan puing-puing perjuanganku. Hatiku telah dibanjiri hujan air mata, potongan-potongan mimpiku terbawa arus, hanyut satu persatu. Aku sering menangis bersama hujan. Kujadikan senja sebagai teman dalam sepiku. Senja menemaniku menanti mentari di balik awan hitam. Akhirnya mentari memelukku dan membawakan hadiah terindah di ujung senja ini. Ialah pelangi senja, yang indah warnanya menghiasai hatiku. Meski hadirnya hanya sesaat dan gelap malam menyelimutinya. Hadirnya pelangi senja sudah cukup membuatku tersenyum dan yakin bahwa keajaiban itu nyata adanya.

“Bapak, Ibuk… Nurul sepertinya sudah tidak mampu lagi melanjutkan langkah ini.”, aku mengadukan seluruh deritaku kepada dua sayap yang telah membawaku terbang jauh. Do’a-do’a mereka bagaikan sayap yang mengantarku terbang mengarungi takdirku.

“Nak, tahukah kau bahwa saat padi tumbuh di sawah, maka secara otomatis akan ada rerumputan yang menyertainya. Seperti itulah perjalanan hidup kita. Saat ini kau adalah padi yang sedang tumbuh, menyediakan makananmu sendiri dengan bantuan sinar matahari. Saat ada rumput yang mengusik hidupmu maka itu adalah salah satu ujian, beberapa kuat dan seberapa besar kesabaranmu dalam menghadapi cobaan.”

Bapak mencoba mengajakku memahami filosofi kehidupan padi. Aku menyimaknya dengan baik, ku pasang kedua telingaku agar jangan sampai ada informasi yang terlewatkan.

“Semakin berumur, padi akan semakin merunduk. Mungkin kamu sebagai pemuda terkadang lengah dan cenderung mendongakkan kepala. Sehingga angin mengusikmu, membuat hatimu terombang-ambing. Maka tata kembali niatmu, berbenah diri dan selalu menggantungkan segala urusan hidup kepada Sang Pencipta.”

Ada benarnya juga kalimat Bapak yang terakhir ini, sepertinya aku sedikit lengah. Lebih suka menyibukkan diri dengan urusan dunia, dan hatiku telah dibutakan oleh gemerlapnya dunia. Tangisku semakin membanjiri relung hati. Begitulah cara Bapak menasihati kami. Dengan bahasa yang halus, penuh perumpamaan, namun berhasil mengetuk pintu hati nurani kami.

“contohlah padi, Nak! Untuk menjadi nasi yang bermanfaat untuk orang lain, dia harus menjalani takdir hidupnya yang cukup panjang. Setelah pari siap dipanen, para petani akan memotongnya dengan sabit atau alat lain yang sangat tajam. Lalu pari itu akan dipukul-pukul sehingga keluar butiran-butiran gabah. Perjalan duka lara padi pun belum selesai sampai di sini saja. Gabah itu pun dijemur di bawah paparan terik matahari selama beberapa hari. Coba bayangkan, dia sekalipun tak pernah mengeluh, dia ridho dengan takdir Tuhannya. Untuk menjelma menjadi beras, dia harus rela diselep dan dikuliti hingga menghasiltas butir-butir beras yang bersih. Dan untuk menyulapnya menjadi nasi, beras tadi harus bersabar direndam dalam air mendidih selama beberapa menit.”

Tangisku semakin menjadi, air mataku mengalir deras. Ku rasai seluruh tubuhku merinding saat aku membanyangkan diriku menjelma menjadi sosok padi. Betapa hinanya diri ini, rasa syukur pun masih kurang. Diri ini terlalu sering mengeluh, dan mengeluh. Menganggap bahwa hidup ini tak adil.

“Bapak, Ibuk, maafkan Nurul. Nurul sudah terlalu jauh dari Allah…”, kalimatku terpotong, ku tak sanggup berkata. Ku coba sekuat tenaga untuk menyuarakan isi hatiku.

“Nurul sering sholat, Nurul rajin ngaji, tapi ada sesuatu yang masih kurang. Ada ruang yang masih kosong dalam hati Nurul.”, berkata demikian aku langsung teringat nasihat guruku saat aku masih belajar di Madrasah Aliyah. Ada tiga kalimat sakti yang beliau sampaikan kepada kami.

“maksimalkan ikhtiyar, optimalkan sabar, dan tidak ada alasan untuk tidak bersyukur.” Pak Shiddiq selalu mengutip kalimat ini sebelum mengakhiri pelajaran. Kalimat yang indah, singkat, dan sakral, tapi sulit sekali untuk mengaplikasikannya.

Kita harus belajar qana’ah (rela) dari sebatang padi. Kita juga bisa belajar syukur, sabar, tangguh, dan bermanfaat untuk sesama makhluk dari perjalanan hidup padi.

Setelah mendapat nasihat indah dari Bapak aku mulai menata kembali masa depanku. Kurajut kembali mimpi-mimpiku, ku gantungkan setinggi mungkin. Aku mulai bangkit dari keterpurukanku. Kurekatkan kembali puing-puing perjuangan yang sempat terseret ombak. Akupun menata niat dan melangkah dengan pasti.

“Bapak, terima kasih banyak karenamu kaki ini mampu berpijak meniti kehidupan yang penuh rintangan. Ibuk, kasihmu yang tak pernah surut selalu menemani tiap langkahku dan senyuman kalian adalah mentari yang menyinari hidupku.”

Aku memeluk mereka berdua, kubiarkan air mata ini meleleh mengalir bersama beban yang mulai ku hanyutkan.

Rasanya tak pantas lagi aku menangis dan mengeluh. Saat ini aku sudah semester tujuh. Satu setengah tahun lagi aku sudah tidak lagi berada di kampus ini. Semester sembilan harus menjadi semester terakhirku dan menjadi tahun kelulusanku.

Dalam kesendirianku, kusenandungkan bait-bait rindu:

Rinduku padamu ya Rabby

Tak mampu terkata-kata

Rinduku padamu ya Rasul

Tiada pernah bertepi

Surgamu dambaan kami

Rahmat-Mu selalu kupinta

Di jalan yang terjal ini

Syafaatmu selalu kunanti

Hidup hanya sekali

Ke tanah kita kembali

Umur kan selalu berkurang

Jangan tambah dosa lagi

Rinduku padamu ya Ummi

Di hati selalu terpatri

Belaian kasihmu itu

Tiada pernah berkurang

Runduku padamu ya Abi

Bak lautan tak pernah kering

Nasihatmu di kala petang

Bagai senjata saat berperang

Rinduku padamu adik

Mengalir sederas hujan

Canda, tawa, tangis, merajuk

Dalam hati selalu terbayang

Rinduku padamu ya Asaatidz

Tak mampu redakan pilu

Ilmu, amal, dan ibrah

Darimu bagiku sebuah anugerah

Rinduku padamu kawan

Selalu membayangi jalan

Bersama kita berjuang

Runtuhkan segala rintangan

Diriku papa, diriku hina

Diriku jahil, diriku fakir

Bersama kita melangkah

Di jalan yang Dia suka

Bergandeng tangan, meniti asa

Bersama kita di surga

            Kujalani sisa-sisa hariku dengan berbenah diri, semakin mendekat kepada-Nya dan selalu berbagi. Ternyata hidup di tanah rantau yang jauh dari keluarga adalah hal yang sangat sulit. Jika kita tak tahan dengan segala coba dan terjalnya kehidupan ini. Maka kita akan tergilas oleh zaman.

SENYUM PELANGI DI SENJA HARI

Akankah kisahku ini menginspirasi banyak orang? Terlepas menginspirasi ataupun tidak, aku menulis kisah ini sebagai sebuah kenangan yang nantinya akan selalu terkenang dan dan menjadi sejarah hidupku. Suka dan duka silih berganti mewarnai hidupku, senyum dan tangis selalu hadir temani hariku.

            Menuntut ilmu adalah sebuah kewajiban, sebagaimana yang termaktub dalam beberapa hadits Nabi Muhammad SAW. Dan Al-Qur’an juga telah mengabarkan tentang keutamaan orang yang berilmu.

            Bapakku adalah seorang pemimpin, tepatnya imam dalam keluarga besarku. Beliau sangat menjunjung tinggi pendidikan, bahkan beliau bekerja keras agar semua anaknya bersekolah dan dapat melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Alhamdulillah, sampai detik ini aku dan adik-adikku masih aktif menuntut ilmu di bangku sekolah. Aku adalah anak pertama dari tujuh bersaudara. Adik pertamaku sekarang menekuni rutinitasnya di tempat konveksi. Di samping itu dia juga masih asyik marawat sound system yang dia rakit sendiri. Kebanyakan orang tidak percaya kalau Syakur ( panggilan akrab adik pertamaku ) adalah tamatan Madrasah Tsanawiyah. Sungguh mengagumkan memang, seorang anak yang hanya tamat MTs mampu merakit beberapa sound system yang kadang kala disewa oleh temannya yang sedang mengadakan hajatan. Adikku ini tidak melanjutkan studinya ke SLTA, dia lebih suka bermain dengan sound systemnya. Ketertarikannya pada dunia elektro bermula saat dia masih duduk di kelas VIII MTs. Saat ada bazar buku, dia memebeli buku tentang elektro dan mempelajarinya secara otodidak. Siti Rodhiyatun atau yang akrab di sapa Tutun, dia adalah anak ketiga. Bakatnya di bidang seni kaligrafi telah tumbuh subur sejak duduk di kelas VII MTs. Beberapa event lomba sering dia ikuti dan tak jarang dia pulang membawa gelar juara.

            Aku sangat bersyukur dan merasa bahagia bisa berada di tengah-tengah keharmonisan keluarga. Keluargaku tidak hidup dalam kemewahan, kami hidup bahagia dalam kesederhanaan. Bapakku bekerja sebagai buruh serabutan,apapun yang dapat beliau kerjakan, beliau menjalaninya dengan ikhlas dan penuh kesabaran. Kadangkala beliau diminta untuk memperbaiki perlengkapan rumah tangga yang berupa barang elektronik. Beliau bukanlah tamatan sekolah tinggi ataupun sekolah kejuruan, beliau hanyalah lulusan sekolah dasar. Aku sangat kagum kepada bapakku, keahlian beliau dalam bidang elektro inilah yang kemudian diwarisi oleh adik pertamaku, Syakur. Bapak juga berprofesi sebagai pembuat sumur bor. Jika ada orang yang meminta beliau untuk membuat sumur, Syakurlah yang setia menjadi patner beliau. Ibuku adalah ibu rumah tangga yang kesehariannya disibukkan dengan mengurus keluarga, mulai dari memasak, mencuci serta mengurus dua orang adikku yang masih balita. Beliau dengan sabar menjalani rutinitasnya setiap hari. Karena do’a dan air mata beliaulah mimpiku kini dapat terwujud, kuliah di UNNES. Ibu selalu setia berada di sampingku dalam suka maupun duka. Do’a beliau, do’a bapak dan ibu menjadi kunci pembuka pintu keajaiban. Perjuanganku untuk dapat bersekolah tak akan lengkap tanpa do’a ibu dan bapak.

            Aku mulai memasuki sekolah pada tahun 2001, padahal teman-teman yang seusia denganku sudah bersekolah sejak tahun 2000. Agak sedih memang, pada tahun 2000 adikku yang kedua baru lahir dan aku harus ikhlas merelakan sekolahku ditunda tahun depan. Aku menjalani masa SD dengan berbagai rutinitas. SDN Telukwetan 05 adalah sekolah di mana aku menimba ilmu, letaknya tidak jauh dari rumahku. Alhamdulillah saat itu aku sempat mengikuti beberapa perlombaan. Untuk lomba cerkas mata pelajaran Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam aku belum berkesempatan untuk membawa pulang piala. Dan akhirnya keinginanku untuk membawa pulang piala dikabulkan oleh Allah, yaitu saat lomba Pendidikan Agama Islam tingkat Kabupaten. Dengan ijin Allah aku berhasil membawa pulang empat piala dan menjadi Juara ke-2 kategori juara umum. Setelah menyelesaikan pendidikan di sekolah dasar, rencana untuk melanjutkan ke SLTP sempat terhambat karena kendala ekonomi. Alhamdulillah pertolongannya datang melalui seorang tetangga. Betapa bahagianya aku dan keluargaku saat itu. Akhirnya aku dapat bersekolah di sekolah swasta, MTs. Tasywiqul Banat Jepara. Di sinilah aku mulai mengukir mimpi untuk bisa terus bersekolah dan melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Alhamdulillah aku dipercaya untuk mengikuti beberapa perlombaan, mulai dari lomba PAI, MIPA sampai lomba MTQ. Aku sangat bahagia karena banyak pengalaman yang aku dapatkan. Kisahku pun terulang kembali, karena kendala ekonomi mimpiku untuk terus bersekolah hampir pupus. Namun skenario Allah sungguh indah, di luar anganku datang seorang guru, salah satu guru MTs. Tasywiqul Banat Jepara. Beliau memintaku untuk melanjutkan sekolah dan tidak perlu memikirkan soal biaya. Akhirnya ku langkahkan kaki menuju MA. Tasywiqul Banat Jepara. Aku yakin do’a bapak dan ibuku selalu ikut ambil bagian dalam ceritaku ini. Terima kasih banyak kepada Bapak  dan Ibu, aku sayang kalian. Aku mulai mengenal dunia  luar sejak masuk MA. Tasywiqul Banat Jepara. Beberapa Universitas sempat aku singgahi dalam rangka mengikuti perlombaan. Pertama UNISNU Jepara, di sini aku dan dua orang temanku didelegasikan untuk ikut lomba MTQ tingkat Karesidenan Pati. Aku dan tim peserta LKTI juga sempat ikut Lomba Karya Tulis Ilmiah yang diselenggarakan oleh Universitas Muria Kudus. Di akhir masa bersekolah di MA. Tasywiqul Banat Jepara aku masih diberi kepercayaan untuk mengikuti Lomba Gramatika Arab di Universitas Negeri Semarang. Aku dan teman-teman yang ikut lomba sangat bahagia karena hari itu adalah kali pertamanya kami menginjakkan kaki di kota Semarang, khususnya di kampus  Konservasi.

Waktu terus berjalan, dan sampailah saatnya pendaftaran mahasiswa baru dibuka. Aku dan teman-teman yang berkeinginan untuk melanjutkan ke Perguruan Tinggi sangat berantusias untuk mengikuti SNMPTN dan pendaftaran beasiswa bidikmisi. Perjuangan kami dalam menapaki langkah menuju Perguruan Tinggi penuh dengan rintangan. Namun pengorbanan, kesabaran dan semangat kami tak pernah padam. Sekolah kami bukanlah sekolah favorit yang didukung dengan sarana dan prasarana yang memadai. Sekolah kami adalah sekolah satu atap. MTs dan MA. Tasywiqul Banat berdiri di tengah desa yang jauh dari pusat kota. Bangunannya terdiri dari dua lantai, lantai pertama dipakai untuk MTs dan lantai dua digunakan oleh MA. Walaupun kami bersekolah di sekolah yang kecil, kami tetap berjiwa besar dan memiliki mimpi yang besar untuk masa depan kami. Dalam tes SNMPTN kami berjalan beriringan dan saling membantu satu sama lain. Namun sayang, SNMPTN bukan jalan kami, tak satupun dari kami yang lolos seleksi tersebut. Akhirnya kami terpecah, ada yang patah semangat dan enggan mengikuti seleksi lainnya. Beberapa dari kami memilih untuk mengikuti SPAN-PTAIN dan UMPAIN. Mayoritas dari kami masih tetap berusaha untuk bisa masuk PTN dengan menngikuti tes SBMPTN. Air mata selalu menemani perjuangan kami dalam mengikuti SBMPTN. Dengan penuh harap, aku selalu berdo’a agar keajaiban itu muncul lagi, keajaiban yang berulang kali hadir di masa transisi untuk lanjut bersekolah. Namun keajaiban itu tak kunjung datang, mungkin ini adalah saat di mana kesabaran dan kemandirianku diuji. Aku masih ingat betul, waktu itu H-1 pendaftaran SBMPTN sekitar jam 9 malam aku baru mendaftar dengan bantuan seorang teman. Aku merasa lega karena kartu peserta SBMPTN telah ada dalam genggaman.

Tanpa diduga-duga, datang lagi sebuah problem yang menurutku itu adalah puncak dari segala rintangan yang menghalangi jalanku menuju impianku untuk kuliah. Suatu malam datang dua orang pria yang belum pernah aku kenal. Dan tanpa disangka satu dari mereka mengutarakan keinginannya untuk mengkhitbahku. Duniaku seakan digonjang-ganjingkan, hancur, luluh lantak dengan bekas-bekas kehancuran. Saat itu, aku tak kuasa berucap dan hanya mampu diam dalam kepedihan. Tak ada seorangpun yang tahu tentang kepedihan yang aku alami. Bapak mengiyakan keinginan pemuda itu. Hatiku berontak, namun aku hanya mampu diam menerima semua ini. Cerita pilu yang tak pernah terbayangkan kini harus ku jalani. Mulai saat itu, semua buku dan soal SBMPTN yang aku miliki kuserahkan semuanya kepada sahabatku. Aku berpesan agar dia terus berjuang meraih mimpinya dan aku hanya bisa membantu dengan do’a. Tak satupun dari sahabatku yang mengetahui alasanku mundur dari SBMPTN. Haripun terus berlalu, aku terus menerus larut dalam kepedihan. Tiba suatu malam di mana aku mengungkap isi hatiku dengan seluruh keberanian yang aku miliki. Aku masih belum bisa merelakan jika aku harus mengikuti keinginan orang tuaku, keinginanku untuk kuliah sangat kuat. Sungguh di luar harapanku, setelah mendengar curahan hatiku tersebut, kedua orang tuaku menangis, hati mereka hancur sehancur-hancurnya. Bagaimana tidak, aku sadar bahwa aku seperti mempermainkan mereka. Dengan mudahnya aku berkata tidak setelah bapak mengiyakan. Orang tua mana yang tidak sakit hati dengan kelakuan anaknya yang seperti itu. Namun aku tidak bisa membohongi diriku sendiri. Yang menjalani hidupku adalah aku sendiri dan aku merasa tidak mampu jika harus mangikuti keinginan orang tuaku.

Mulai saat itu aku merangkai mimpiku kembali. Aku akan menunjukkan kepada bapak dan ibuku bahwa keputusan yang akku ambil sudah tepat. Dan aku akan membuat mereka bangga dengan keputusanku ini. Aku mulai belajar dengan sisa-sisa buku yang aku miliki. Tekatku sudah bulat, aku akan terus berusaha mencari cara agar impianku ini dapat terwujud. Tiga hari lagi tes SBMPTN akan dilaksanakan. Aku mendapat lokasi tes di UNDIP Semarang. H-3 tes aku masih belum tahu dengan apa dan dengan siapa aku akan berangkat ke UNDIP. Semua temanku sudah merasa tenang karena keberangkatan mereka sudah jelas. Alhamdulillah ada seorang teman yang mengenalkanku kepada teman lamanya yang bernama Ardian. H-1 aku dan Ardian. H-1 aku dan Ardian berangkat ke UNDIP untuk checking lokasi. Kita berada di Semarang sampai petang, selepas maghrib aku baru sampai di rumah. Yang menyedihkan adalah selama aku merangkai mimpiku, aku belajar, aku mendaftar hingga aku ke Semarang untuk checking lokasi, aku menjalani semua itu tanpa sepengetahuan orang tuaku karena aku takut mereka tidak setuju dengan keputusanku. Aku baru memberi tahu mereka ketika aku pulang dari Semarang. Dan pada malam itu juga aku meminta do’a restu kepada bapak dan ibuku. Akhirnya paginya aku dapat berangkat ke UNDIP bersama Ardian. Beberapa minggu kemudian, hasil seleksi SBMPTN diumumkan. Alhamdulillah aku lolos, kedua orang tuaku pun ikut bahagia.

Kisahku belum selesai, isak tangis kembali menyinggahi hidupku. Saat pengisian data pokok, aku mengalami beberapa masalah. Ssetelah buka puasa, aku langsung mengajak bapakku untuk meminta surat ke rumah kepala desa. Kami bersepeda malam-malam. Kami mengurus surat itu sampai adzan isya’ berkumandang dan kamim pun undur diri. Bapak langsung pergi ke masjid untuk melaksanakan sholat tarawih, sedangkan aku masih sibuk mencari pinjaman laptop. Sekitar pukul delapan malam aku baru mendapat pinjaman laptop dari seorang teman. Aku mengisi data pokok di teras rumah ditemani bapak dan ibuku. Aku senang sekali, mereka mendukungku dan selalu mendo’akanku. Semua data telah terisi, tinggal upload data pendukung berupa foto-foto kondisi rumah. Manusia hanya bisa berusaha dan Allah lah yang menentukan. Jarum jam menumjukkan pukul 00.06 WIB. Jam dua belas telah berlalu enam menit yang lalu, sedangkan foto-foto tadi belum terkirim. Aku hanya bisa pasrah menerima ketetapan dari-Nya. Tapi aku tak bisa menutupi kesedihanku. Tidak hanya aku, tetapi ibuku juga ikut menangis. Aku terus menangis sampai jam satu dini hari. Bapak terus berusaha menenangkanku dan memintaku untuk mengikhlaskannya. Aku pun mencoba menenangkan diri.

Meskipun semua telah usai, aku tetap bermimpi dan terus berharap semoga ada keajaiban datang. Skenario Yang Maha Kuasa merupakan ketetapan yang tidak dapat diganggu gugat. Jika kita mampu mengikhlaskan sesuatu pergi dari hidup kita dan bersabar, maka Allah akan menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik lagi. Benar, pagi itu ada dua orang tamu beralmamater UNNES datang ke rumah untuk menyurvei. Suatu kenikmatan yang brgitu besar dan patut untuk disyukuri. Penantianku selama ini membuahkan hasil. Saat pengumuman bidikmisi, namaku tercantum sebagai calon mahasiswa penerima beasiswa bidikmisi. Ada satu pepatah yang mengatakan demikian, “Di mana ada kemauan di situ ada jalan.” Salah seorang guruku pun sering berkata, “Maksimalkan ikhtiar, optimalkan sabar. Tidak ada alasan untuk tidak bersyukur.” Dan keajaiban do’a telah menjawab semua mimpiku.

Terima kasih teruntuk bapak beserta ibuku, guru-guruku, sanak keluarga dan sahabat-sahabatku yang luar biasa.

Rabu, 21 Januari 2015 pukul 14.37 WIB

NEGERI PARA PUTRI SOLIKHAH

Mentari mulai bergerak turun ke laut untuk mandi. Daun nyiur melambai-lambai diterpa angin laut. Langit jingga membentang di cakrawala. Desir ombak melantunkan senandung rindu. Pasir putih terhampar luas dari ujung tepian pantai yang permai. Burung-burung bangau terbang dalam koloninya, mengabarkan bahwa petang akan menjelang. Mentari pun akan diantarkan senja menuju peraduan. Zahra masih duduk di tepian pantai, dia tak acuh pada kakinya yang kedinginan diterpa ombak silih berganti. Beberapa sahabatnya telah berkemas untuk pulang, tetapi Zahra masih terpaku mengenang masa itu. Sunset di penghujung senja ini membuatnya semakin tenggelam dalam lamunan. Bayang-bayang ibundanya selalu menemaninya dalam sepi. Senyum manis yang tersungging di bibir ibundanya adalah penyemangat hidup Zahra. Tak pernah sekalipun senyuman itu lupa menyapanya. Ibundanya adalah muslimah sejati, ibu yang bijaksana, dan sahabat setia bagi Zahra. Kini semua masa-masa indah bersama bunda tinggallah kenangan. Kenangan yang terukir abadi dalam lubuk hati Zahra.
Pada senja yang sama, langit mulai menjingga. Awan-awan berarak perlahan mengikuti hembusan angin. Pasir putih terhampar luas di tepi pantai. Segerombol anak sedang bermain pasir, mereka membuat istana pasir yang indah. Kebersamaan dalam suka cita, riuhnya tawa mereka menambah indahnya pesona pantai di kala senja. Beberapa anak sedang bermain bola, ramai sekali. Sedangkan keluarga Zahra masih asyik bersepeda keliling pantai. Setiap akhir pekan, keluarga ini selalu menyempatkan untuk berlibur ke pantai. Ayah, bunda, Zahra, dan ketiga adiknya sedang asyik bersepeda. Mereka saling berboncengan dengan menaiki tiga buah sepeda. Si bungsu selalu dibonceng Ayahnya. Namun, hari ini ada sesuatu yang berbeda. Sang ayah sedang memboncengkan wanita cantik berhijab biru laut dan bergamis putih keperak-perakan. Seulas senyum tersungging di bibir wanita anggun ini. Dia adalah bunda. Tak biasanya bunda minta dibonceng ayah. Hari ini kebahagiaan bunda seolah telah sempurna. Dikelilingi keluarga bahagia, suami yang bijaksana, dan empat anak gadis yang cantik-cantik. Petang pun mulai menjelang, si bungsu sedari tadi merengek minta pulang. Dalam gendongan ibundanya dia masih saja merengek. Keluarga Zahra pun berkemas dan segera pulang ke rumah. Mentari telah menanggalkan teriknya. Siluet senja tinggalkan bayang-bayang kebahagiaan yang tak lama lagi menjadi kenangan.
Di kala petang menjelang, cahaya bulan bersinar terang, ditemani bintang-gemintang yang berkilauan. Dinginnya angin malam tak dirasa oleh Zahra dan adik-adiknya. Mereka sedang tenggelam dalam hangatnya dongeng malam sang bunda. Tiap malam menjelang tidur, bunda selalu berkumpul bersama keempat anak gadisnya di beranda rumah sambil menikmati temaram cahaya rembulan. Bunda selalu membawakan kisah “Negeri Para Putri Sholihah”. Zahra dan adik-adiknya menyimak rangkaian kisah sang bunda dengan penuh perhatian. Kisah ini menceritakan kehidupan muslimah sholihah yang tenggelam dalam ketaatannya kepada Sang Pencipta. Sosok muslimah teladan yang berparas menawan, bertutur kata lembut, dan memegang teguh prinsip dalam beragama. Kelak sosok para muslimah sejati inilah yang bersemayam pada diri Zahra dan ketiga adiknya, serta muslimah-muslimah lainnya yang melabuhkan cinta mereka kepada Rabb-nya. Diam-diam Zahra selalu menyalin tiap kisah sang bunda dalam buku binder jingganya. Sebelum merebahkan diri di atas ranjang tidurnya, Zahra selalu menyempatkan untuk menulis dan muhasabah diri.
Zahra segera beranjak dari tempat duduknya. Ujung gamisnya telah dipenuhi pasir putih. Desir ombak pun membuatnya basah. Pantai telah sepi, para pengunjung berangsur-angsur meninggalkan pantai. Mentari telah tenggelam di ujung lautan. Zahra mulai melangkah menapaki pasir putih di tepian laut, desir ombak menyapu bekas tapak kakinya. Derap langkahnya kian pasti menapaki kehidupan ini. Seulas senyum tersungging menyiratnya kebahagiaan. Dia memang sedang bahagia karena semua sumber kebahagiaannya bermula dari sini, pantai.
Pagi masih menyisakan bekas-bekas sunyi. Embun pagi enggan terpisah dari rerumputan. Mentari pun enggan menampakkan sinarnya. Ia masih bersembunyi di balik awan. Awan yang kelabu menjadikan pagi ini semakin sendu. Tetesan embun pun mewakili kesedihan Zahra. Dia dan ketiga adiknya duduk terpaku di sudut ruang tamu. Seisi rumah dipenuhi para pelayat. Lantunan surat Yasin menggema ke penjuru rumah. Tubuh bunda telah terbujur kaku di tengah ruangan. Seulas senyum di bibirnya memberi kabar gembira bahwa dia berpulang ke pangkuan Ilahi dengan bahagia dan damai. Zahra sadar bahwa kebersamaannya dengan sang bunda tak akan bertahan lama. Ketika takdir Tuhan telah dititahkan, dia harus siap untuk melepas kepergian ibundanya dengan penuh keikhlasan.
Dua tahun terakhir bunda didiagnosa mengidap anemia. Tingkat kekebalan tubuhnya semakin hari semakin menurun. Di saat sang bunda merasa tak sanggup lagi bertahan, dia lebih banyak menghabiskan waktu bersama keempat anaknya. Kebiasaan bunda dalam mendongeng pun semakian intens. Dulu, bunda mendongeng hanya di kala petang sebagai tiket pengantar tidur putrinya. Akan tetapi, sekarang hampir setiap waktu bunda mendongeng untuk putri-putrinya. Kisahnya pun masih tetap sama, “Negeri Para Putri Sholikhah”. Yang membuatnya terasa berbeda adalah tiap kali menyimak kisah ini bukan senyum kebahagiaan yang terpancar dari wajah putrinya. Melainkan kesedihan yang terbalut dalam tangis. Andai waktu dapat terulang, Zahra ingin selalu berada di samping bundanya. Tapi apa mau dikata, sejak sang ayah ditugaskan di luar kota. Zahra sering bolak-balik mengunjungi sang ayah dan membawakannya rantang yang berisi masakan bundanya. Meski terpisah jarak yang cukup jauh, bunda tak pernah letih membuat masakan kesukaan suaminya. Takdir Tuhan pun membawa Zahra terbang ke kota di mana ayahnya ditugaskan. Di kota ini, Zahra mendapatka beasiswa kuliah S1 jurusan Sastra Indonesia di salah satu universitas ternama. Selama Zahra dan ayah bermukim di luar kota, ketiga adiknyalah yang setia menemani sang bunda. Kini kebersamaan yang selalu menghiasi akhir pekan mereka tinggallah kenangan manis. Sebulan sekali Zahra dan ayahnya menyempatkan untuk pulang kampung menghabiskan waktu liburan bersama keluarga. Seperti biasa tempat favorit yang mereka tuju untuk berlibur adalah pantai. Namun, siapa yang menduga kalau liburan mereka kali ini adalah liburan terakhir bagi sang bunda. Zahra tak ingin jauh-jauh dari bundanya. Sehari penuh keluarga ini bermain di pantai. Ayah bermain bulu tangkis bersama anak keduanya. Anak ketiga dan si bungsu asyik bermain pasir. Sementara Zahra dan bundanya menikmati gemericik ombak di tepian pantai. Ketika langit menjadi jingga, bunda mengatupkan kedua matanya menikmati panorama senja dengan sunset yang indah sempurna.
Sore ini bunda banyak bercerita tentang masa mudanya. Zahra terpaku menyimak kisah bundanya. Bunda dan ayah bertemu untuk pertama kalinya di pantai ini, begitu bunda mengawali cerita. Di bulan yang penuh rahmat, di mana di antara malamnya tersembunyi malam yang agung. Para malaikat turun ke bumi, sayap-sayap indahnya tebarkan rahmat. Di penghujung senja, para peserta Pesantren Kilat sedang sibuk menyiapkan hidangan untuk berbuka puasa. Ayah Zahra sibuk mengipas-ngipas ikan bakar, beberapa teman perempuannya menyiapkan sup buah. Beberapa teman lelaki masih mengolah ikan. Saat itu bunda kebagian tugas membuat bumbu ikan bakar. Karena terlalu banyak bawang merah yang harus diiris, mata bunda menjadi berkaca-kaca dan lama kelamaan bunda menitikkan air mata. Bersamaan dengan itu, ayah mengukurkan sapu tangan biru laut untuk bunda. Zahra sudah bisa menebak kelanjutan dari kisah ini, senyum yang tersungging di bibir bunda menandakan kebahagiaan yang tak bertepi. Pasti kisah itu adalah awal mula jalinan kasih antara bunda dan ayahnya , pikir Zahra.
Sepeninggal bundanya, Zahra yang merupakan anak sulung menjadi kakak sekaligus ibu bagi adik-adiknya. Sifat bundanya yang bijaksana dan penyayang diwarisi oleh Zahra. Kepada adik-adiknya dia tak pernah membeda-bedakan dalam hal kasih sayang. Dia pun mengajari adik-adiknya untuk berbakti dan menghormati ayahnya, serta mengajak adik-adiknya untuk berziarah ke makam bundanya. Tak lupa, dia selalu panjatkan do’a di setiap sujudnya. Semoga kebahagiaan selalu menyelimuti keluarganya dan semoga kelak keluarganya dapat berkumpul kembali di surga bersama sang bunda. Sepeninggal bundanya pula, ayah memutuskan untuk memboyong putri-putrinya ke kota tempat dia bekerja. Ayah membeli rumah sederhana di kompleks perumahan. Dia sengaja mengecat dinding rumah dengan cat warna biru laut, warna kesukaan dia dan istrinya. Halaman rumah ditata sedemikian rupa menyerupai pantai. Karang-karang laut yang diperolehnya dari pantai berjejer rapi melingkari pagar bambu. Zahra menambahkan tanaman-tanaman bunga aneka warna yang indah.
Zahra menyelesaikan masa-masa kuliahnya tepat waktu. Selama kuliah dia aktif di Unit Kegiatan Mahasiswa(UKM) Racana, Mahapala, dan Pers Mahasiswa. Kesibukannya kuliah yang saban hari selalu bergelut dengan sastra mengantarkannya menjadi seorang penulis dan penyair yang disukai para penggemarnya. Karyanya yang paling fenomenal adalah novel yang berjudul “Negeri Para Putri Sholihah”. Judul itu dia ambil dari dongeng malam bundanya yang dibumbui kisah-kisah menarik seputar kehidupan. Selesai kuliah, dia bekerja sebagai reporter di salah satu stasiun televisi swasta. Zahra juga menyulap rumah lama keluarganya menjadi taman baca yang tak pernah sepi pengunjung. Sepekan sekali Zahra mengisi kelas mendongeng di taman baca tersebut. Pada hari-hari biasa, yang bertanggung jawab mengelola taman baca adalah adik-adiknya. Taman baca ini semakin ramai pengunjung, terlebih ketika ada agenda “Tinta Sastra”. Acara ini adalah agenda bulanan taman baca di mana para penyair dan sastrawan berkumpul dan berbagi ilmu tentang penulisan sastra.
Berbeda dengan bundanya yang menemukan cinta di pantai, Zahra justru menemukan cintanya di puncak gunung di antara rimbunnya edelwis. Ketika aktif di UKM Mahapala, Zahra dan teman-temannya berkesempatan menaklukkan puncak tertinggi kedua di pulau Jawa, yaitu puncak gunung Sumbing. Selama tiga hari dua malam, anak-anak Mahapala menghabiskan liburan semester di kota Wonosobo. Setelah puas menikmati objek wisata di Dieng, mereka memacu adrenalin dengan menaiki gunung Sumbing. Sepuluh personil Mahapala berusaha menaklukkan puncak Sumbing. Pepohonan rimba yang tumbuh liar di kaki gunung tak menyurutkan langkah mereka. Setelah mencapai puncak, para personil Mahapala ini dibuat takjub oleh keindahan lukisan tangan Tuhan. Ketua tim segera mengibarkan sang Merah Putih di puncak Sumbing diiringi lagu Indonesia Raya yang mengalun syahdu. Beberapa bait puisi pun dilantunkan serang pemuda sambil menatap Zahra.
“Langit biru terbentang tiada bertepi, Awan putih berarak ikuti arah angin berhembus
Di lereng Sumbing yang indah permai, Kami langkahkan kaki menuju damai
Puncak gunung terselimuti kabut, Dinginnya udara pun kian menusuk
Semangat kami kian berkobar, Ditemani hembusan angin
Yang mengalunkan senandung rindu, Ilalang-ilalang ikut bernyanyi
Iringi langkah kami yang kian pasti, Semak belukar ikut menuntun langkah kami
Ranting-ranting cemara kami jadikan tongkat, Di bawah teduhnya dedaunan rimba
Kami senandungkan lagu cinta, Alam menjadi sahabat sekaligus rumah bagi kami
Semakin tinggi kaki ini berpijak, Semakin tak kuasa mulut ini suarakan takjub
Gunung-gunung menjulang tinggi, Pepohonan rapi bagai permadani
Nan jauh di ujung tertinggi, Edelwis hentikan langkah kami
Tangan ini berusaha meraihnya, Namun alam tak mengijinkannya”

Pemuda yang dulu mengutarakan cinta lewat bait-bait puisi, kini dia telah menanti Zahra di bawah pohon nyiur sambil menggendong buah cintanya dengan Zahra. Cinta siapa yang tahu kapan datangnya dan kepada siapa ia melabuhkan hati. Zahra berjalan perlahan menghampiri suami dan anaknya. Pohon nyiur dan siluet senja menjadi saksi kebahagiaan Zahra. Sang suami pun segera membiarkan buah hatinya di dekap sang bunda. Zahra duduk di samping suaminya, putrinya tertawa menggemaskan di pangkuannya. Mereka bertiga tersenyum bahagia menatap sunset.